Rabu, 27 Januari 2010

TOKOH PMII

Mahbub Djunaedi
Ditulis oleh Administrator
Jumat, 20 Maret 2009 00:00

Mahbub Djunaedi (Jakarta, 27 Juli 1933 - Bandung) - wartawan, sastrawan dan politisi. Sejak kecil Mahbub sudah terbiasa membaca karya-karya pengarang terkemuka dunia maupun tanah air. Ketika di sekolah menengah pertama di Jakarta, Mahbub remaja, sudah menjadi staf redaksi majalah sekolahnya. Di sekolah menengah atas (SMA Negeri I Budi Utomo, Jakarta), puisi, esai, cerpen dan karya tulis lain Mahbub sudah dimuat di sejumlah media massa bergengsi.
Selain romannya Dari Hari ke Hari (1982) dan Angin Musim (1985), Mahbub juga menerjemahkan beberapa buku antara lain Di Kaki Langit Gurun Sinai karangan Hassanin Haykal, 100 Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah tulisan Michael H. Hart (sudah cetak ulang hamper 20 kali), Binatangisme karya George Orwell, Cakar-cakar Irving tulisan Art Buchwald yang juga dikenal dunia sebagai kolumnis dengan nada humor dan satirisme yang tinggi.
Mahbub mulai bekerja di harian Duta Masyarakat tahun 1958. Karirnya terus menanjak, hingga akhirnya memimpin suratkabar resmi Partai Nahdlatul Ulama (NU) itu. Selain di Duta Masyarakat, karirnya di NU pun terbilang cemerlang hingga sempat menjadi salah satu ketua pengurus besar. Bahkan ketika NU berfusi ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Mahbub juga sempat didaulat menjadi salah satu ketua.
Mahbub memang sudah aktif berorganisasi sejak muda, antara lain pernah duduk dalam kepengurusan Pengurus Besar HMI dan PMII. Demikian pula di dalam organisasi kewartawanan, Mahbub sempat terpilih menjadi Ketua Umum PWI Pusat sesudah peristiwa G30S/PKI, menggantikan A. Karim D.P. Seperti diketahui, Karim DP, ketika itu “diamankan” pihak berwajib karena dituduh “terlibat” G30S/PKI.
Menurut Mahbub, pengalaman paling sulit ia rasakan ketika memimpin PWI pada masa peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru. “Pada dasarnya yang dihadapi waktu itu semuanya sesama rekan, teman seprofesi, hanya aliran yang berbeda.”
Mahbub Djunaedi dikenal memiliki kemampuan analisis yang tajam. Arah tulisannya sejalan dengan keyakinan dan cita-citanya atau ideologi yang dianutnya. Mahbud dikenal prigel dan luwes dalam menuangkan gagasan. Tulisannya mengalir seperti halnya ketika ia menuangkan gagasan secara lisan. Mahbub adalah penulis dengan gaya bahasa yang lugas, sederhana, dan humoris. Namanya sangat tersohor sebagai seorang kolumnis yang piawai.
Humor ialah alat Mahbub mengajak pembaca berkelana masuk ke dalam sesuatu masalah. Baginya, lebih baik menyentil orang dengan cara membuat sasaran yang dikritiknya tersenyum daripada membuatnya murka. Dengan ketawa, semua masalah akan segera teratasi. “Bukankah humor, di samping melankolis, juga merupakan kebiasaan kesusastraan?” katanya.
Menurut Mahbub, kebiasaan orang Indonesia yang suka ketawa seringkali membantu mengatasi persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Menurutnya, hanya orang-orang yang mempunyai intelektualitas sajalah yang mampu menerima humor dan ketawa.
Jika anggapan ini betul, menurut Mahbub, benarlah anggapan bahwa rakyat Indonesia memiliki tingkat intelektualitas yang cukup tinggi (di samping kesabarannya), sehingga setiap saat siap ketawa, tak peduli hidupnya berjalan mulus atau terbanting-banting.
Di koran Duta Masyarakat yang dipimpinnya, Mahbub pernah menulis: “Pancasila mempunyai kedudukan yang lebih agung dibanding Declaration of Independence, yang disusun dan dibacakan Thomas Jefferson sebagai pernyataan kemerdekaan Amerika Serikat tanggal 4 Juli 1776, maupun dengan Manifesto Komunis yang disusun oleh Karl Marx dan Friedrich Engels tahun 1874.
Tulisan Mahbub ini membuat Soekarno terpikat, sehingga memintanya untuk segera menghadap ke Istana. Dari sinilah awal kedekatan Mahbub dengan Bung Karno. Mahbub tak pernah tanggung-tanggung memuji setinggi langit sang “penyambung lidah rakyat” itu. “Kalau tidak ada Bung Karno, saya tidak yakin persatuan dan kesatuan bangsa terbangun seperti sekarang. Selain itu, Bung Karno memiliki kepedulian yang besar terhadap kehidupan rakyat kecil. Beliau itu dekat dengan rakyat.” Saking kagum dan hormatnya pada Bung Karno, Mahbub menamakan beranda depan rumahnya di Bandung dengan nama Soekarno House. Selain itu, Mahbub adalah Ketua Majelis Pendidikan Yayasan Pendidikan Soekarno hingga akhir hayatnya.
Ajaran Bung Karno, memang cukup mempengaruhi nasionalisme Mahbub. Pada sebuah pertemuan wartawan di Vietnam, Mahbub menggunakan bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi kendati ia cukup fasih berbahasa Inggris atau Prancis. Inilah sikap nasionalismenya. “Bahasa Prancis bukan bahasa elu, dan bahasa Inggris juga bukan bukan bahasa gua,”demikian alasan Mahbub.
Pengalaman menarik lainnya yakni ketika menjabat sebagai Ketua Umum PWI Pusat, ketika harus memberi rekomendasi izin penerbitan majalah sastra Horison. Waktu itu PWI memang diberi otoritas untuk memberi rekomendasi untuk pengajuan izin penerbitan. Persoalan muncul ketikaa ada kekhawatiran, Pemerintah (Orde Baru) tidak akan memperkenankan penerbitan Horison karena keberadaan Mochtar Lubis sebagai pemimpin redaksi majalah tersebut. Namun, menghadapi hal tersebut, dengan enteng Mahbub mengeluarkan rekomendari meskipun ia tahu pasti bahwa tindakannya itu akan mengundang risiko yang tidak kecil.
Hal lain yang banyak dikenang dari Mahbub Junaedi adalah gayanya dalam membahas sesuatu masalah. Melalui tulisan-tulisannya seringkali Mahbub membahas persoalan serius dengan pemaparan yang tajam namun dalam gaya bahasa yang enteng dan penuh humor. Ini sangat terasa pada tulisan-tulisannya sebagai kolumnis diberbagai media massa antara lain Kompas dan Tempo. Banyak kalangan menilai, di Indonesia, gaya tulisan Mahbub tak ada duanya sampai sekarang. (Tim EPI/ES. Sumber: SSWJ/TAB)
Sumber: www.pwi.or.id

0 komentar:

Posting Komentar