Selasa, 26 Januari 2010

Menggagas Feminis Modern di PMII, Membangun Demokrasi Masa Depan

Oleh: Abdurrahman bin Auf*
Teori Feminis modern bertolak dari sejumlah pertanyaan sederhana. Bagaimana dengan perempuan? Di mana posisi perempuan. Bila wanita tak berperan, mengapa? Bila berperan, apa yang sebenarnya mereka lakukan? Bilamana mereka mengalami situasi?Apa yang mereka sumbangkan untuk itu? Apa artinya itu bagi mereka?
( Teori Sosiologi Modern, George Ritzer-Douglas J. Goodman)

Meluruskan Pemahaman
Membicarakan feminisme sangat erat kaitannya dengan sosialisme. Apa yang diungkapkan oleh George Ritzer-Douglas J. Goodman di atas adalah fenomena feminis kuno yang akan menyebabkan minoritas pola pikir. Minoritas pola pikir ini adalah terjadinya pengaburan peran wanita dalam situasi sosial, peran wanita dalam kebanyakan situasi sosial, meskipun penting, masih kurang mendapatkan penghormatan dan tersubordinasikan peran lelaki.
Indikator-indikator semacam itulah yang menyebabkan pemikiran pengetahuan bahwa wanita selalu berada pada pihak minorotas, telah terjadinya ketidakadilan, kesenjangan, dan perbedaan peran yang nyata antara laki-laki dan perempuan.
Nur Amin Samhuri mengatakan bahwa feminisme sebagai sebuah ide yang diantaranya berupaya melakukan pembongkaran terhadap ideologi penindasan atas nama gender, pencarian akar ketertindasan perempuan, sampai upaya penciptaan pembebasan perempuan secara sejati. Feminisme adalah basis teori dari gerakan pembebasan perempuan. Menurut saya pendapat Nur Amin Samsuri tersebut, bertentangan dengan teori feminis modern. Secara logika argument tersebut, akan melahirkan pemikiran bahwa perempuan menjadi pihak minoritas atau kelompok kecil yang bersumber pada peran mayoritas laki-laki. Sekali lagi, belajar feminis moderen tidaklah sama dengan teori minoritas atau kelompok kecil.
Namun, mari kita berpikir bahwa teoritis mendasar feminisme akan menghasilkan perubahan revolusioner dalam pemahaman kita tentang kehidupan social itu. Pengetahuan selama ini dokonstruk oleh anggapan keabsolutan dan universal tentang kehidupan sosial ternyata adalah pengetahuan yang berasal dari pengalaman semata. Pengalaman yang dimaksud adalah bagian dari masyarakat yang berkuasa yakni dari lelaki sebagai “tuan”. Pemikiran itu akan menjadi rancau tatkala sudut pandang kita selama ini hanya pada kacamata kekuasaan seorang lelaki yang menyebabkan wanita disubordinasikan secara fungsional struktural. Padahal ada hal yang lebih penting lagi untuk kita luruskan adalah teori feminis merupakan teori pencapaian kesejajaran kehidupan sosial dalam konteks perubahan hidup.
Realitas Feminisme dan Gender di PMII
Sampai sekarang, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) selalu menyajikan forum diskusi tentang teori feminisme. Fenomena ini terjadi mulai dari rayon, komisariat, cabang, koordinator cabang dan lembaga tertinggi yiatu pengurus besar. Bahkan di setiap level masing-masing lembaga tersebut, disediakan wadah khusus untuk memberikan pemahaman konsep feminisme itu. Melalui investigasi teoritis, sering kita temukan kader-kader PMII masih memiliki pemikiran ala Nur Amin Samsuri. Realitas`seperti ini pada sisi kaderisasi akan berdampak jangka panjang bagi organisasi tentang pemahaman feminisme. Pemaknaan tersebut selalu diawali dengan timbulnya gerakan feminisme atas dasar penindasan kaum laki-laki terhadap perempuan.
Kita tidak boleh terjebak dengan kata “Penindasan”. Dalam artian konsep penindasan jangan diartikan sebagai sebab-akibat dari perilaku laki-laki yang berperan aktif secara absolut. Hal ini jelas akan menyebabkan direct vis-a vis antara laki-laki dengan perempuan itu sendiri. Jika teori ini berlaku pada pemahaman kita, maka jangan heran mindset kader-kader PMII selama masih terkonstruk pada teoritis-praktis yaitu feminisme selalu disandingkan dengan bentuk penindasan, kekerasan fisik, ketidakadilan laki-laki terhadap perempuan, peran mayoritas laki-laki terutama dalam hal fungsional-struktural, dan kekejaman laki-laki terhadap perempuan atas ketidakadilan dan posisi laki-laki yang selama ini dianggap melebihi perempuan.
Konsep feminis yang saya maksud bukanlah pembebasan perempuan karena mereka tertindas oleh laki-laki. Akan tetapi, pemikiran feminis beraplikasi pada pengetahuan realitas kehidupan sosial organisasi PMII yaitu melakukan perubahan positif bagi keberlangsungan ekstensialisme PMII itu sendiri.
Secara mayoritas dalam perkembangan kesempatan fungsional-struktural selalu didominasi laki-laki. Kemudian pola pikir yang lahir adalah anggapan terjadinya ketidakberhasilan kaderisasi perempuan dan sebaliknya keberhasilan kaderisasi bagi laki-laki. Secara tidak langsung, logika yang terbentuk adalah terjadinya penyekatan kodrati jenis antara laki-laki dan perempuan.
Pemikiran teori feminis modern selalu berorientasi pada pemhaman kesejajaran secara sosial untuk menciptakan kehidupan sosial menjadi lebih baik atas pengaruh sebuah kondisi sosial itu sendiri.  Gender merupakan merupakan shadow system dari feminisme. Tepatnya, gender suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dalam hal pengaruh sosial budaya yang menyebabkan timbulnya turunan pembeda dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang selama ini berkembang di masyarakat khususnya di tubuh PMII.
Sedangkan konsep gender dalam persfektif agama juga ada dalam Al-Qur'an. Agama Islam yang diturunkan sebagai Rahmatal Lil Alamin men-design dengan detail mulai dari pernikahan, perceraian, aturan pembagian warisan dan konsep kepemimimpinan dalam berumah tangga. Turunan pembeda dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan merupakan pengaruh konstruk sosial, budaya dan politik yang menyebabkan keharusan laki-laki dan perempuan untuk mencari jalan keluar dari pengaruh negatif tersebut.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, konsep feminis modern sangatlah relevan dengan sistem demokrasi kita. Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28 huruf H Ayat 2 dijelaskan Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Jadi jelaslah bahwa semua warga negara mempunyai hak yang sama tanpa membedakan status, struktur sosial, cirri-ciri primordial maupun identitas ekslusif lainnya (baca: gender).
Pasal tersebut di jabarkan kembali dalam kehidupan politik di Indonesia. Kebijakan pemerintah yang memberikan quota 30% (UU Pemilu pasal 53) bagi calon legislatif (caleg) perempuan untuk masuk dalam sistem demokrasi merupakan persaingan aksi di atas panggung perebutan kekuasaan dalam meangaplikasikan makna gender itu. Jadi pemberian quota itu bukanlah pembeda yang mengkontsruk pemahaman kita tentang ketidakadilan quota, tapi mari kita pandang dalam persfektif bentuk solusi untuk pembebasan perempuan. Pembebasan yang dimaksud adalah mengeluarkan diri dari meraih quota itu secara makasimal. Nah, disinilah letak arti gender dan feminisme yang sebenarnya. Mencari solusi atas pengaruh sebuah konstruk sosial dan politik.
Tantangan Feminisme di PMII
Adanya realitas feminisme di atas sekaligus akan menjadi tantangan proses kaderisasi di organisasi PMII. Pertama, terjadinya pemikiran penindasan fungsional-struktural. Pemahaman ini akan berdampak pada timbulnya pemikiran politik-praktis dalam kehidupan miniatur demokrasi di PMII. Ini disebabkan atas pola pikir dalam konsep kekuasan merupakan dominasi kaum laki-laki. Hal ini akan melahirkan kader-kader oportunis dan apatis sehingga merusak komitmen atas doktrinasi konsep kebersamaan dan konsep Hablum Minannas yang ada dalam Nilai Dasar Pergerakan (NDP) PMII. Konsep kebersamaan dalam membangun PMII yang memiliki hubungan yang kuat dengan konsep hubungan horizontal.
Kedua, terjadinya penyekatan antara kaum laki-laki dan perempuan yang bersifat jangka panjang atas konflik kesalahpahaman feminisme. Penyekatan jangka panjang jelas menjadi great problem dalam menciptakan konsep kebangsaan melalui kehidupan berdemokrasi. Demokrasi yang dimaknai menciptakan kehidupan pro-kerakyatan. Tepat kiranya jika kehidupan berbangsa dan bernegara dalam mencapai demokrasi ideal haruslah berawal dari penghapusan mindset kesenjangan, ketidakadilan, kekerasan, dan penindasan struktural akibat pemikiran feminis hanya pada jenis kelamin secara kodrati. (*)
*) Penulis adalah Ketua Umum PMII Cabang Jember

0 komentar:

Posting Komentar