Sabtu, 30 Januari 2010

Rekonsiliasi; Islam, Demokrasi dan Barat


Judul : Rekonsiliasi; Islam, Demokrasi dan Barat
Penulis : Benazir Bhutto
Penerjemah : Annisa Rahmalia
Penerbit : Buana Ilmu Populer, Jakarta
Cetakan I : Desember, 2008
Tebal : 35 halaman

Peresensi : Lukman Santoso Az*

Benazir Bhutto, seorang perempuan yang terlahir sebagai pemimpin dan pernah menjabat perdana menteri dalam dua periode (1988-1990 dan 1993-1996) di Pakistan. Terlahir pada 21 Juni 1953 di Karachi, dan bertumbuh sebagai aktivis dan politisi pro-demokrasi.

Pada 1988, Ia menjadi perdana menteri perempuan yang pertama dalam sejarah Pakistan. Pada 1999, Benazir memutuskan mengasingkan diri ke luar negeri, tak lama setelah Jenderal Musharraf merebut kekuasaan melalui kudeta militer. Pada Oktober 2007, Benazir Bhutto kembali ke Pakistan. Dia mengatakan, kepulangannya untuk mendorong peralihan Pakistan ke pemerintahan sipil.

Namun, perjalanan hidupnya yang penuh dengan pertarungan itu tampaknya juga berakhir tragis pada 27 Desember 2007, seusai berpidato dalam kampanye di Rawalpindi, ditembak seorang pelaku bom bunuh diri. Tewasnya Benazir, merupakan peristiwa tragis keempat yang menimpa keluarga Bhutto. Tragedi kematian Benazir, telah mengingatkan duka lama dan meradang duka baru bagi rakyat Pakistan. Bagi mereka, terutama pendukungnya, kematian Benazir Bhutto merupakan kehilangan besar bagi Pakistan. Benazir telah menjadi simbol modernitas dan demokrasi di Pakistan. Sehingga, kematiannya merupakan martir bagi demokrasi di Pakistan.

Karya barunya, yang berjudul asli Islam, Democracy, and the West,(Harper Collins, 2008), ini. Ditulis saat Benazir sedang bersiap-siap untuk kembali ke kehidupan politik. Buku ini adalah sebuah buku tentang kecerdasan yang hebat, keberanian, dan kejernihan. Ia mengandung tulisan terbaik dan interpretasi modern yang sangat persuasif tentang Islam. Tentu saja, bagian yang membuat buku ini dihormati adalah identitas pengarangnya.

Buku ini seolah merupakan hasil retret panjang Benazir, setidaknya selama 9 tahun hidup dalam pengasingan. Ditulis dengan kepenuhan hati dan semangat menggebu soal demokratisasi dan Islam. Ia berupaya membalikkan semua miskonsepsi dan stigma negatif tentang Islam. Penjelajahan yang dilakukannya bisa membuat kelompok-kelompok ekstrem-fanatik Islam marah. Benazir tidak hanya memberikan pemaham an tentang politik dan bagaimana memperjuangkan tegaknya demokrasi, tetapi juga tentang teologi Islam, agama yang amat dicintainya. Toleransi dan pluralisme Islam, menurutnya telah dibajak oleh para teroris.

Benazir menyampaikan berbagai kesalahpahaman yang menjadi sumber kebingungan. Arti jihad, di Indonesia berkali-kali dijelaskan cendekiawan Muslim seperti Nurcholish Madjid, oleh Benazir digarisbawahi kembali. Jihad adalah perjuangan. Meluruskan kembali makna jihad amat penting. Jihad harus didudukkan dalam arti sebenarnya, yakni pertempuran internal dan eksternal untuk mengikuti jalan yang benar dan adil, yang kemudian dia tunjukkan dengan dasar pemikiran teologis, bahwa gagasan terorisme tidak didukung acuan Kitab Suci.

Selain miskonsepsi tentang Islam tidak sesuai dengan sains dan teknologi, kesetaraan jender juga menjadi topik penting dalam buku ini. Benazir melihat, jika demokrasi menjadi milik jutaan Muslim di planet ini, gerakannya harus berasal dari rakyat yang berjuang melawan kekuatan ekstrimisme, fanatisisme, dan otoritarianisme. Kelaparan melahirkan ekstremisme. Ketiadaan harapan melahirkan ekstremisme. Keputusasaan melahirkan ekstremisme dan di sana ada peluang tumbuhnya demokrasi. Maka, menurutnya, untuk memutus mata rantai dan siklus kemiskinan, ekstremisme, kediktatoran, dan terorisme, Pakistan perlu bergerak maju ke arah rekonsiliasi yang sesungguhnya.

Ihwal demokratisasi, Bagi Benazir militer merupakan salah satu kekuatan yang sering menghambat demokratisasi. Intervensinya dalam ranah politik, misalnya melalui kudeta sebagaimana dilakukan Musharraf terhadap Nawaz Sharif, merupakan praktik kediktatoran yang senantiasa mengancam pergantian kekuasaan. Militer sering mengambil alih kekuasaan dengan dalih instabilitas dan perbaikan ekonomi. Benazir mengetengahkan perlunya pemikiran tentang institusionalisasi demokrasi, sebab kegagalan demokrasi di Pakistan secara umum terkait kelindan dengan kegagalan dalam institusionalisasi demokrasi. Sementara di bawah alam sadar publik, sistem diktator selama ini dianggap sebagai cara terbaik untuk memulihkan ekonomi. Ironisnya, demokrasi dianggap tidak menjamin kesejahteraan.

Dengan memperlihatkan perdebatan dalam Islam, Benazir mengajukan tesis tentang masalah-masalah yang bisa menjadi bahan rekonsiliasi. Di satu pihak memang ada Islam yang menolak gagasan modernitas, sebaliknya ada kelompok Islam yang mengajukan strategi untuk rekonsiliasi dunia Islam dengan gagasan modern yang menyangkut lingkungan politik, ekonomi, sosial yang modern. Di antaranya Ia menyebutkan tokoh Mohammad Iqbal, yang juga merupakan bapak spiritual Pakistan. Iqbal mengajak menghidupkan kembali ijtihad atau berpikir logis dan mengajak umat Muslim menerapkan pemikiran logis dalam mencari solusi untuk mengatasi masalah-masalah mereka.

Benazir mengakui rekonsiliasi yang ditawarkan tidak gampang dilakukan, bahkan mustahil, tetapi dia sadar rekomendasi soal rekonsiliasi diperlukan karena zaman ini memerlukan sesuatu di luar kelaziman. Karena itu, dia tidak hanya bicara tentang Islam dengan kacamata yang kritis, tetapi juga menuntut dunia Barat menghapuskan stigma negatif tentang Islam sekaligus mengagendakan upaya menghentikan gelombang radikalisme Islam serta menemukan kembali nilai-nilai toleransi dan keadilan yang ada dalam Islam.

Kebangkitan Islam yang diharapkan Benazir, bukanlah radikalisme dan mengerasnya ekstrimisme, tetapi seberapa jauh Islam memberikan kontribusi konkret bagi perkembangan ekonomi, politik, dan sosial masyarakat. Kebangkitan Islam harus dijalankan bersama kebangkitan agama-agama lain, yakni kemaslahatan bersama, kebaikan bersama, dan keadilan yang menjadi dambaan setiap makhluk.

Buku ini merupakan ekspresi pengalaman dan obsesi Benazir Bhutto yang sangat cemerlang. Ia menawarkan solusi, ditengah ekstrimisme global. Dalam memoirnya yang berjudul Daughter of the East, (New York, Hamish Hamilton (1989) Benazir menulis, "Saya tidak memilih kehidupan seperti ini, tetapi kehidupanlah yang memilih saya. Dilahirkan di Pakistan, hidup saya menjadi cermin pergolakan, tragedi, dan kemenangannya." Benazir pernah berjanji di hadapan makam ayahnya, "Saya bersumpah tidak akan beristirahat sampai demokrasi kembali ke Pakistan."

Pakistan memang membutuhkan jalan baru bagi demokratisasi. Hanya saja, dua bentuk totalitarianisme yang menghantui itu akan selalu menggagalkan keadaban politik. Dengan kematian Benazir, tersisih sudah agenda demokratisasi yang menjanjikan. Masa depan demokrasi Pakistan semakin tidak menentu, tanpa terlebih dahulu "mengubur" militerisasi dan ekstremisasi di negeri dengan semboyan Ittehad, Tanzim, Yaqeen-e-Muhkam, "Kesatuan, Disiplin, dan Kepercayaan" itu. Kepergian Benazir menjadi pesan jelas bahwa musuh demokratisasi yang totaliter masih berselimut dengan sangat nyamannya di Pakistan.(*)
*)Lukman Santoso Az, Penikmat Buku dan Peneliti pada LeSAN Yogyakarta

0 komentar:

Posting Komentar