Sabtu, 19 Desember 2009

"MEMBINCANG TENTANG GENDER"

“MEMBINCANG TENTANG GENDER

A.ABSTRAKSI

Wacana Gender mungkin bisa dikatakan sudah basi, karena sudah sejak lama dibicarakan oleh berbagai kalangan baik oleh para pelajar,lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan maupun kalangan orang-orang agamis, ada pro dan kontra di dalamnya, mereka saling mempertahankan argumennya yang tentu saja dengan rujukan atau sumber hukum yang mereka anggap valid.

Jika melihat realitas sosial di masyarakat wacana tentang kesetaraan gender sangat penting untuk dihembuskan, bahkan kalau perlu bisa dijadikan salah satu mata pelajaran di sekolah menengah atau mata kuliah di perguruan tinggi, dalam makalah ini penulis akan memaparkan sedikit uraian tentang gender, yang bisa dijadikan pengetahuan awal bagi sahabat/I yang masih baru menapak di dunia PMII.

SEJARAH PMII

Pergerakan Mahasiswa islam Indonesia

Dari namanya PMII disusun dari empat kata yaitu “Pergerakan”, “Mahasiswa”, “Islam”, dan “Indonesia”. Makna “Pergerakan” yang dikandung dalam PMII adalah dinamika dari hamba (makhluk) yang senantiasa bergerak menuju tujuan idealnya memberikan kontribusi positif pada alam sekitarnya. “Pergerakan” dalam hubungannya dengan organisasi mahasiswa menuntut upaya sadar untuk membina dan mengembangkan potensi ketuhanan dan kemanusiaan agar gerak dinamika menuju tujuannya selalu berada di dalam kualitas kekhalifahannya.

Pengertian “Mahasiswa” adalah golongan generasi muda yang menuntut ilmu di perguruan tinggi yang mempunyai identitas diri. Identitas diri mahasiswa terbangun oleh citra diri sebagai insan religius, insan dimnamis, insan sosial, dan insan mandiri. Dari identitas mahasiswa tersebut terpantul tanggung jawab keagamaan, intelektual, sosial kemasyarakatan, dan tanggung jawab individual baik sebagai hamba Tuhan maupun sebagai warga bangsa dan negara.

“Islam” yang terkandung dalam PMII adalah Islam sebagai agama yang dipahami dengan haluan/paradigma ahlussunah wal jama’ah yaitu konsep pendekatan terhadap ajaran agama Islam secara proporsional antara iman, islam, dan ikhsan yang di dalam pola pikir, pola sikap, dan pola perilakunya tercermin sikap-sikap selektif, akomodatif, dan integratif. Islam terbuka, progresif, dan transformatif demikian platform PMII, yaitu Islam yang terbuka, menerima dan menghargai segala bentuk perbedaan. Keberbedaan adalah sebuah rahmat, karena dengan perbedaan itulah kita dapat saling berdialog antara satu dengan yang lainnya demi mewujudkan tatanan yang demokratis dan beradab (civilized).

Sedangkan pengertian “Indonesia” adalah masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang mempunyai falsafah dan ideologi bangsa (Pancasila) serta UUD 45.


Sejarah Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia lahir dari organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama’ (NU). Pada tanggal 17 April 1960. ide lahirnya PMII lahir dari hasrat yang kuat dari kalangan mahasiswa NU untuk membentuk sebuah organisasi yang menjadi tempat berkumpul dan beraktifitas bagi mereka. Akan tetapi karena pada waktu itu sudah berdiri Ikatan Pemuda Nahdlatul Ulama (IPNU), sementara anggota dan pengurusnya banyak yang dari mahasiswa maka para mahasiswa NU banyak yang bergabung dengan IPNU. Sebenarnya keinginan untuk membentuk sebuah organisasi sudah ada sejak Muktamar II IPNU tahun 1959 di Pekalongan Jawa Tengah, akan tetapi belum mendapat respon yang serius, karena IPNU sendiri pada waktu itu masih memerlukan pembenahan, dalam proses IPNU yang masih dalam proses establish dikhawatirkan tidak ada yang mengurusi. Karena IPNU dianggap tidak mampu menampung aspirasi mahasiswa NU pada waktu itu. Pertama, kondisi objektif antara keinginan dan harapan mahasiswa serta dinamika yang terjadi berbeda dengan keinginan para pelajar. Kedua, dengan hanya membentuk departemen dalam IPNU mahasiswa NU tidak bisa masuk PPMI Persatuan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia, karena PPMI hanya menampung ormas mahasiswa.

Puncak dari perhelatan dibentuk tidaknya organisasi mahasiswa NU adalah ketika IPNU menyelenggarakan konferensi besar pada tanggal 14-17 Maret 1960 diKaliurang Yogyakarta. Diawali oleh Isma’il Makky selaku ketua departemen Perguruan Tinggi (IPNU) dan M. Hartono, BA (mantan Wakil Pimpinan usaha Harian Pelita Jakarta), akhirnya forum konferensi membuat keputusan tentang perlunya didirikan organisasi mahasiswa NU. Lalu dibentuklah panitia sponsor pendiri yang beranggotakan 14 orang, yang dilanjutkan dengan musyawarah mahasiswa NU yang diselenggarakan di Surabaya, yang sebelumnya PBNU sudah merestui. Dan pada tanggal 17 April 1960 secara sah PMII dinyatakan berdiri dan H. Mahbub Djunaidi dinyatakan sebagai ketua terpilih.
1. Unsur pemikiran yang ditonjolkan pada organisasi yang akan berdiri pada waktu itu adalah:
2. Mewujudkan adanya kedinamisan sebagai organisasi mahasiswa, khususnya karena pada waktu itu situasi nasional sedang diliputi oleh semangat revolusi.
3. Menampakkan identitas ke-Islaman sekaligus sebagai konsepsi lanjutan dari NU yang berhaluan ahlu sunnah wal jamaah juga berdasarkan perjuangan para wali di pulau jawa yang telah sukses dengan dakwahnya. Mereka sangat toleran atas tradisi dan budaya setempat. Sehingga dengan demikian ajaran-ajarannya bersifat akomodatif.
4. Memanifestasikan nasionalisme sebagai semangat kebangsaan, karenanya nama Indonesia harus tercantum.

Independensi dan pencarian jati diri

Jatuhnya orde lama dan naiknya Soeharto sebagai rezim orde baru membawa kepada perubahan politik dan pemerintahan yang cukup signifikan setelah Soekarno sebelumnya membubarkan Masyumi, orde baru juga berobsesi untuk mengurangi partai politik yang berbau ideologi dengan mendirikan partai untuk menopang keuasaannya sendiri. Kebijakan pemerintahan orde baru diatas telah menempatkan pemerintahan sebagai wilayah kauasaan yang tidak bisa dijamah dan dikritisi oleh masyarakat.
Fenomena diatas menuntut PMII mampu melakukan pembacaan secara jeli tentang dirinya ditengah upaya pemerintah untuk melakukan upaya-upaya pengkerdilan terhadap setiap komponen masyarakat-bangsa termasuk partai politik selain golkar. Dari hasil pembacaan itu bahwa apabila PMII tetap bernaung dibawah NU yang masih berada pada wilayah politik praktis, maka PMII akan mengalami kesulitan untuk berkembang sebagai ormas mahasiswa. Atas dasar pertimbangan inilah pada MUBES V tanggal 14 Juli 1972 di Munarjati Malang, PMII memutuskan untuk menjadi organisasi yang independen yang tertuang dalam deklarasi Munarjati. Dengan ini PMII sebagai tidak terikat pada sikap dan tindakan siapapun dan hanya komitmen dengan perjuangan organisasi serta cita-cita perjuangan nasional yang berlandaskan pancasila.
Pada periode 1980-an PMII yang mulai serius masuk dan melakukan pembinaan di perguruan tinggi menemukan kesadaran baru dalam menentukan pilihan dan corak gerakannya. Bersamaan dengan Khittah 1926 NU pada tahun 1984 dan diterimanya pancasila sebagai asas tunggal, PMII telah membuat pilihan-pilihan peran yang cukup strategis. Dikatakan strategis karena menentukan pilihan pada tiga hal yang penting, yaitu:
1. PMII memberikan prioritas pada upaya pengembangan intelektualitas.
2. PMII menghindari keterlibatannya dengan politik praktis, baik secara langsung atau tidak, dan bergerak pada wilayah pemberdayaan Civil Society.
3. Memilih mengembangkan paradigma kritisisme terhadap negara. Pilihan-pilihan tersebut membuat PMII selalu berjarak dengan struktur-struktur kekuasaan politik maupun pemerintahan

Senin, 14 Desember 2009

KKN IDENTIK DENGAN "PROGRAM PACARAN"

KKN Identik dengan "Program Pacaran"

 KKN dimaksudkan agar mahasiswa dapat menerapkan ilmu yang telah mereka pelajari pada program nyata sekaligus membantu masyarakat di pedesaan. Program ini bukanlah program baru.
Meski usianya telah lebih dari seperempat abad, namun sampai saat ini masih saja menimbulkan pro kontra bagi para pengelola (dosen), pelaksana (mahasiswa), orang-orang yang menjadi sasaran KKN, serta orang-orang yang sering dijadikan sebagai mitra kerja mahasiswa.

KASUS KUNO - IDEALISME MAHASISWA

Bayak yang beranggapan bahwa “mahasiswa” adalah suatu macam “pangkat” pelajar yang tertinggi, sehingga akibatnya orang-orang yang masih berstatus “siswa”(tanpa "Maha") dianggap lebih rendah dari pada mahasiswa, sehingga tidak mau rajin belajar lagi, seperti halnya siswa. Ini adalah kasus kuno yang masih sulit diselesaikan.
Perlu disadari bahwa jika seseorang sudah berstatus mahasiswa,maka iapun masih tetap sebagai seorang pelajar yang harus rajin belajar, sekaligus menjadi utusan masyarakat sekitarnya. Semua orang tahu hal ini, tapi yang sering diabaikan adalah mencoba melengkapi seluruh jenis kebutuhan diri dan masyarakatnya. Kebutuhan itu tidak hanya kesejahteraan dan perlindungan, tapi juga pengetahuan dan wawasan.
Sebenarnya dalam hal ini tidak ada bedanya antara siswa, mahasiswa, atau siapapun. Karena yang dibicarakan adalah perihal kemampuan untuk terus memaksimalkan penggunaan fasilitas berupa kemampuan dan kesempatan demi melengkapi kebutuhan diri dan orang-orang sekitarnya. Tanpa kemalasan, atau memanjakan diri hanya pada satu bidang saja, sementara sebagai kaum muda tentu masih mempunyai potensi tinggi di bidang apapun.
Maka arah dari tulisan ini adalah mengajak para mahasiswa agar menjadi benar-benar mahasiswa. Memenuhi kapasitas normal sebagai mahasiswa, menggunakan kemaksimalan otak kanan dan kiri. Mahasiswa yang aktif bergerak dalam organisasi, tapi juga cerdas dalam tiap pelajarannya (mengingat statusnya adalah juga pelajar).
st="on"style="font-family: Tahoma;"Ada beberapa permasalahan yang sering terjadi. Diantaranya, adanya mahasiswa yang rajin belajar tapi lemah dalam pergerakan, adanya mahasiswa yang aktif dalam pergerakan tapi lemah dalam pelajarannya. Bahkan yang lebih parah, lemah kedua-duanya. Penulis menganggap hal ini bukan suatu karakter paten yang terbilang wajar. Tapi hal ini merupakan kasus yang harus diselesaikan, tidak boleh dibiarkan. Karena jika tidak, rantai pemisah antar mahasiswa itu akan tetap terus mengulur panjang. Kalimat "kita adalah satu" yang sering mereka teriakkan itu tak akan pernah terwujud.
Sungguh miris jika mendengar kabar bahwa dari 100 mahasiswa, ada 60 mahasiswa yang malas mengunjungi perpustakaan. Dan dari 100 mahaiswa, ada 70 mahasiswa yang malas mengikuti pergerakan. Seolah mereka lupa akan kebutuhannya kelak. Dalam dunia mahasiswa, hal ini bukanlah suatu kewajaran tapi merupakan suatu kesalahan yang harus secepatnya disadari dan dibenahi. Maka bagi mahasiswa baru hendaknya mewaspadai dan mengingat hal ini sejak awal. Tidak sembarang mengikuti arus, tapi selalu berfikir panjang dan matang, tanpa main-main. Karena kampus adalah tempat yang baik untuk menentukan jatidiri.